MENDARAS ARTIKEL
TENTANG “KEINGINAN DAN NIAT BURUK”
Oleh Agus Hariono
Untuk mengetahui dan memahami isu-isu atau suatu
masalah, penting bagi kita untuk melakukan pembacaan. Pembacaan bisa berarti
membaca buku-buku referensi maupun pembacaan terhadap fakta-fakta dalam
kehidupan nyata. Upaya ini penting dilakukan agar dalam melakukan penilaian
kita bisa melakukannya dengan obyektif sesuai dengan realita dan fakta.
Dalam buku “Nuhammadiyah bicara Nasionalisme” yang
ditulis oleh para aktivis NU dan Muhammadiyah terdapat satu artikel yang
berjudul “Keinginan dan Niat Buruk.” Artikel tersebut ditulis pada sekitar
tahun 2010an awal oleh Acep Zamzam Noor seorang penyair yang cukup senior.
Dalam buku yang bertajuk tentang nasionalisme. Dia mengungkapkan perhatiannya pada
kondisi bangsa soal pelaksanaan pemilu (Pilkada, Pileg dan Pilpres).
Pada bagian awal tulisannya ia mengungkapkan
kekecewaannya terhadap pelaksanaan demokrasi yang ada di Indonesia. Menurutnya
banyak sekali kelucuan-kelucuan yang dipertontonkan dalam serangkaian pesta
demokrasi di negeri ini. Ia mengibaratkan pesta demokrasi tidak lebih dari
sekadar pementasan teater yang digelar untuk menghibur hati rakyat. Sangat
tidak sesuai dengan tujuan pelaksanaan pemilu itu sendiri, yaitu mencari sosok
pemimpin yang bisa membela kepentingan rakyat.
Sebagai upaya dalam rangka memberikan pendidikan
politik, ia senantiasa menanamkan sikap kritis terhadap partai-partai, baik
yang lama maupun yang baru. Tidak tanggung-tanggung, bahkan bersama
komunitasnya dia menyosialisasikan dan mengampayekan tentang golput. Baginya
kampanye golput adalah ekpresi atas sikap kritis yang terhadap para calon dan
partai yang seoalah tidak memiliki kepentingan untuk membela rakyat, meski
tidak semua.
Dia merujuk pada konstitusi, bahwa memberikan suara
pada pemilu hanyalah sebatas hak, bukan merupakan kewajiban. Dan yang namanya
hak, bisa digunakan bisa juga tidak, tergantung situasi. Apabila semua calon
tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya, menurutnya, kita tidak perlu
memaksakan untuk memilih.
Baginya golput merupakan hidayah yang hanya akan
hinggap pada orang-orang tertentu yang sudah tercerahkan mata batinnya.
Kemudian ia memberi penegasan bahwa, “Golput sama sekali taka da kaitannya
dengan sakit hati karena gagal menjadi caleg atau ketua partai, misalnya. Juga
bukan disebabkan partai saya, Partai Nurul Sembako, tak bisa ikut pemilu. Dalam
banyak hal, saya malah yakin golput merupakan sebuah kearifan local. Hanya
orang-orang arif yang paham bahwa memilih harus dengan kesadaran dan penuh
tanggung jawab. Bukan sekadar ikut-ikutan karena dibayar.”
Di samping itu, dalam pengamatanya, satu-satunya
cabang ilmu yang benar-benar diamalkan oleh para calon dan partai adalah ilmu
ekonomi. Misalnya, ia memberi contoh bahwa sarjana hukum memang banyak
jumlahnya, namun begitu terjun ke lapangan menjadi hakim, jaksa, atau
pengacara, lebih melakukan pendekatan ekonomi ketimbang hukum itu sendiri.
Menurutnya, di negeri ini nampaknya sudah tidak ada
hubungan lagi antara agama dan perilaku, apalagi perilaku politik seseorang.
Misalnya, naik haji dan korupsi. Dua hal yang sebenarnya bertolak belakang,
entah kenapa bisa begitu harmonis. Bahkan keduanya dipahami sebagai kesenangan
atau hobi. Sehingga naik haji bisa setiap tahun, di lain sisi korupsi jalan terus.
Sungguh ironis.
Dari berbagai kenyataan di atas, lantas ia
menyimpulkan bahwa modal para caleg untuk terjun ke dunia politik kebanyakan
hanya dua hal, yaitu keinginan dan niat buruk. Keinginan karena tergiur melihat
para wakil rakyat yang dalam waktu singkat bisa menyejahterakan hidupnya secara
fantastis. Atau bagi yang sudah kaya ingin melipatgandakan kekayaannya. Sedang
niat buruk adalah rencana yang mereka lakukan seandainya terpilih nanti. Yaitu
rencana yang sudah dipikirkan jauh-jauh hari, terutama kaitan dengan bagaimana
mengembalikan uang yang terlanjur keluar. Uang tersebut tidak hanya kembali
utuh, melainkan harus menjadi semakin banyak. Selain laba, juga amunisi untuk
kontestasi pada periode berikutnya. Kalau hanya mengandalkan gaji resmi tenti
tidak akan cukup. Maka, pintar-pintarlah mereka mencari sumber yang tidak
resmi.
Sehingga jika dilihat dari permukaan, jelasnya, negara
kita ini sebenarnya sudah sangat demokratis. Berbagai perangkat demokrasi sudah
tersedia, yang mungkin belum semuanya dipunyai oleh negara berkembang. Begitu
juga dengan pemilu yang dilaksanakan secara langsung, sungguh lompatan luar
biasa. Kurang apa lagi? Dana pun juga besar, bahkan berapa pun yang diperlukan
akan tetap digelontorkan oleh pemerintah demi berlangsungnya demokrasi.
Namun, menurutnya, ada satu hal yang mungkin
dilupakanm, bahwa secanggih dan selengkap apa pun perangkat demokrasi yang kita
miliki, jika yang menjalankan bukan orang yang demokratis atau mentalnya masih
feodal dan korup, maka hasilnya akan sia-sia. Demokrasi akan menjadi sekadar
kamuflase. Di akhir dia menyampaikan agar pemilu tidak lagi ditangani oleh KPU
karena terbukti boros, tapi oleh disnaker. Karena menurutnya kebanyakan para
pendaftar adalah pencari kerja. Kalau perlu bantuan mungkin bisa dilihatkan
Dinkes dan juga Polri.
Fakta-fakta dan analogi yang disajikan dalam tulisan
Acep sungguh menarik. Sebagian saya setuju, karena memang faktanya demikian.
Akan tetapi, tentu kita percaya bahwa dinamika dalam sebuah negara akan terus
terjadi. Bisa jadi dalam kurun waktu tertentu pelaksanaan demokrasi di negeri
menjadi semakin membaik, atau sebaliknya. Namun demikian, optimisme harus terus
dibangun dan digelorakan sembari mempepersiapkan calon-calon pemimpin yang
layak dan berintegritas.
Kontribusi warga terhadap negaranya tentu tidak cukup
hanya sekadar mengungkap fakta-fakta saja. Akan tetapi lebih dari itu, bahwa
fakta-fakta yang tidak sesuai dengan konstitusi negara dan tujuan demokrasi
haruslah diperbaiki. Bila itu terjadi pada sistem, maka upaya kerjasama untuk
memperbaiki kudu terus dijalin dan dibangun. Karena ini merupakan persoalan
bangsa, tentu semua elemen harus berperan aktif untuk membantu, utamanya
pemerintah sebagai media penyambung. Memang tidak mudah. Tapi tidak ada yang
tidak mungkin.

Komentar
Posting Komentar