DARI NALAR LITERALIS-NORMATIF MENUJU NALAR KONTEKSTUALIS-HISTORIS DALAM STUDI ISLAM
DARI NALAR LITERALIS-NORMATIF MENUJU NALAR
KONTEKSTUALIS-HISTORIS DALAM STUDI ISLAM*
It seems legitimate to say that the
classical-conventional methodology gives birth to a rigid and theo-centric view of Islam. This form of methodology is
dogmatic and is replete with a systematic indoctrination, such that
would lead one to accept a particular view of religion often blindly
while believing that other views are wrong. This paper offers a challenge to
that old- fashion methodology by deconstructing it, and then
constructing a new form of methodology. We treat the classical
methodology as being literal-normative, and the new one that we propose as
being contextual-historical. We argue that the former has gone out of context,
because it was invented for its own time. The latter in the meantime is
critical and considerate to new demands and contexts. We speak of this
new methodology as characteristically multi-disciplin- ary in the sense
that within its premises, various forms of knowledge are deemed to have been
interconnected and together constitute an integral web of epistemic
construction.
Keywords: literal-normative,
contextual-historical, methodology
Pendahuluan.
Metodologi[1]Studi
Islam (MSI), sejak penghujung abad ke-20 menjadi salah satu kajian yang
“digandrungi” oleh para pemerhati dan peneliti masalah-masalah ke-Islam-an,
baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Namun demikian bukan berarti
bahwa Islam pada abad-abad sebelumnya tidak memiliki metodologi dalam mengkaji
Islam.[2]
Dalam khazanah Islam klasik telah dikenal berbagai disiplin keilmuan yang
dapat dikatagorikan sebagai disiplin metodologi (alat, manhaj) dalam
menganalisis Islam. Us}u>l al fiqh dan qawa>‘id al-fiqh,
misalnya, sejak abad pertengahan, oleh para ulama dijadikan pisau analisis
utama dalam penggalian hukum (istinba>t} al-h}ukm) Islam, di
samping ‘ulu>m al-Qur’a>n dan ‘ilm al-lughah seperti nah}w,
s}arraf dan bala>ghah.
Kajian keislaman yang semata-mata didasarkan pada metodologi ala “klasik-
konvensional” ini melahirkan wajah Islam yang kaku, teosentris dan sarat dengan
dogma. Belum lagi kalau kepentingan teologis dan politik para juris juga ikut
bermain dalam memformat Islam, maka Islam akan hadir dengan wajah yang
menyeramkan, menangnya sendiri. Segala sesuatu akan dilihat dari dua sisi yang
saling berlawanan: muslim-kafir, mu’min- mushrik,
h}ala>l-h}ara>m, minna>-minhum dan kawan-lawan. Kebenaran
dianggap hanya dimiliki oleh kelompok yang pertama, sementara yang kedua
dinomor duakan, tertutup baginya akses untuk menyatakan sebagai sesuatu yang
benar. Karenanya, ia harus dibendung dan dibumi-hanguskan.
*A. Halil Thahir : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri Jawa Timur.
Sementara di sisi lain, modernitas begitu cepatnya menggelayut dalam setiap
detak nadi kehidupan. Permasalahan kompleks silih berganti menghantam
sendi-sendi kehidupan umat muslim yang notabene masih hanyut dalam mimpi-mimpi
indah kejayaan di masa silam, seraya melantunkan al-isla>m ya‘lu>
wa la> yu‘la> ‘alayh. Umat Islam tidak akan dapat ke luar dari
belenggu keterpurukan ini, kecuali mereka mau merubah cara pandang mereka
terhadap agamanya sendiri dan sekaligus terhadap agama orang lain. Tentu
merubah sesuatu yang sudah terlanjur “kronis” ini harus dimulai dari sesuatu
yang paling mendasar, yaitu metodologi kritis yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan
yang, dengan sifat “kritis” tersebut diharapkan dapat membongkar (tafki>k)
dogma dan ortodoksi dalam tubuh umat Islam.
Di sinilah kehadiran paradigma keilmuan interkoneksitas menjadi sesuatu
yang niscaya (d}aru>ri>). Paradigma ini menegaskan bahwa bangunan
keilmuan dengan segala ragamnya, baik agama, sosial dan humaniora, maupun
kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Akan tetapi kerjasama, saling tegur sapa,
saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin
keilmuan akan lebih dapat membantu kompleksitas persoalan kehidupan dan sekaligus
upaya pemecahannya.[3]
Mengawinkan Berbagai Disiplin Ilmu Pengetahuan
Setidaknya ada sepuluh macam kajian keilmuan yang harus betul-betul diperhatikan
oleh para islamolog (isla>miyyu>n) dalam memotret Islam dengan
paradigma interkoneksitas, yaitu: Filsafat Ilmu; Filsafat Ilmu dalam Pemikiran
Islam; Pendekatan dalam Pengkajian Islam; Insider dan Outsider Perspektif
Agama dan Studi Islam; Dira>sa>t Isla>mi>yah dan al-‘Ulu>m
al-Ijtima‘i>yah; Fiqh al-Ta’wi>l wa al-Tafsi>r (Hermeneutik); Gender
mainstreaming (Fiqh al-Nisa>’
al-Mu‘as}ir); International Human Right & Islamic Law; Trends
in Islamic Though Today; dan Philosophy & Methodology in
Islamic Law.[4]
Di bidang Filsafat Ilmu, pemikiran Charles S. Peirce[5] adalah
satu hal yang sangat mendasar bagi siapa saja yang berminat mengkaji Islam. Bermula
dari kritiknya terhadap tiga filosof Eropa, yaitu Descartes, John Locke, dan
Darwin, Peirce menggagas teori baru yang sangat terkenal, yakni the new
logic (cara berfikir baru) dan the logic of inquiry (logika
penelitian). Bagi Peirce, logic tidak statis, tetapi bersifat
dinamis seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga apa
yang tampak sebagai fenomena dibaca dan dicerna dengan pembacaan yang
kritis-produktif (al-qira>’ah al-naqdi>yah al-muti>jah), bukan
malah sebaliknya; membaca apa adanya dan “takluk” terhadap cara pembacaan model
warisan para pendahulunya. Pembacaan model terakhir ini, tidak akan pernah
menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan dan umat, melainkan
taqlid dan mengulang-ulang apa yang menjadi mainstrem (al-qira>’ah
al-taqli>di>yah al-mutakarrirah).
Peirce mengajukan lima konstruksi pemikiran: Pertama, belief,
yaitu berupa tatanan sosial yang dipegang sementara dan moral; Kedua, habit
of mind, tradisi yang turun temurun dan menggumpal; Ketiga, doubt (shak,
keragu-raguan) akan apa yang selama ini dianggap mapan. Keraguan itu muncul
karena adanya benturan antara tura>th (tradisi)
dengan al-h}ada>thah (modernitas). Untuk memperoleh keyakinan,
menurut Peirce, seorang peneliti dapat menggunakan empat metode: tenasitas,
otoritas, apriori, dan investigasi.[6]
Keempat, Inquiry (penelitian). Namun perlu ditegaskan,
bahwa yang dicari adalah mean-ing (nilai), bukan truth (kebenaran). Kelima; the
logic of theory. Pada tahap yang terakhir ini, Peirce menegaskan bahwa
kebenaran teks, —baik teks alam, teks manusia dan teks agama—adalah sebagian
kebenaran (truth: t kecil) yang tertutup dari kebenaran besar (Truth:
T besar).
Dengan demikian, kebenaran yang dihasilkan oleh ekspresi linguistik
bersifat relatif (nisbi), karena masih banyak kebenaran-kebanaran
lainnya yang sama-sama berpredikat “t” kecil dan masing-masing mengklaim sebagai
turunan yang “absah” dari kebenaran dengan predikat “T” besar. Dari sini,
kemudian Peirce menawarkan perlunya Commonity of Research sehingga
masing-masing dari kebenran “t” kecil itu terbuka untuk diapresiasi dan
dikritik (qa>bil li al-niqas}).[7]
Berbeda dengan penelitian alam (natural sience) yang bersifat
positivistik, penelitian agama bersifat humanistik dan mempunyai dua
dimensi: Belief (i>ma>ni>) yang bercorak
teologis- subyektif; dan History (ta>ri>kh) yang
bercorak deskriptif-obyektif. Kalau dalam penelitian alam, bangunan relasi
antara peneliti dan obyek penelitian adalah S – O, maka dalam penelitian agama
yang terjadi adalah relasi S – S. Namun demikian, tidak dapat dielakkan dalam
penelitian agama rentan dengan ketegangan antara pihak insider dan outsider.[8]
Agama sebagai obyek kajian ilmiah meniscayakan adanya sikap lapang dada
untuk diperlakukan menurut “selera” peneliti untuk ditelanjangi, sehingga
sekujur tubuh agama tampak dengan jelas, mana bagian-bagian yang murni wahyu dan
bagian-bagian hasil konstruk sejarah.[9]
Perlu juga ditegaskan di sini, penelitian agama tidak boleh didorong oleh
anggapan- anggapan yang miring (prejudice). Rasa simpati bahkan empati
seorang peneliti atas agama yang diteliti sangat dibutuhkan agar menghasilkan
kesimpulan yang valid. Persyaratan simpati dan empati juga diperlukan ketika
seseorang akan mengkaji budaya dan kondisi sosial masyarakat beragama. Karena
logika positivistik-nomotetik yang memokuskan diri mencari hukum-hukum umum dan
keteraturan (eklaren) tidak bisa menggali wilayah budaya dan sosial,
sebaliknya perlu mengedepankan logika ideografis yang berusaha memahami (vestehen)
gejala-gejala yang bersifat spesifik.[10]
Dengan logika ideografis, seseorang dapat menguak makna (sinnvestehen),
bukan sekadar menemukan kausalitas niscaya.[11]
Upaya menetralisir -untuk tidak mengatakan menghilangkan- ketegangan antara dua
kutub tersebut, kehadiran disiplin fenomenologi agama sangatlah penting.
Walaupun ilmu itu sendiri menegaskan bahwa tidak ada agama yang sama. Atau dengan
kata lain, masing- masing agama berbeda dengan yang lainnya. Yang mampu
ditelisik fenomenologi agama hanya dari aspek pola, karena di titik inilah
berbagai agama dapat dipertemukan. Pola-pola agama dimaksud adalah: doktrin,
ritual, teks, leadership, history, morality dan art.[12]
Senada dengan A. James L. Cox, Hegel menegaskan, bahwa seluruh fnomena
–termasuk fenomena agama- dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga
didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit).
Penekanan terhadap hubungan antara esensi dan manifestasi ini, menjadi suatu
dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti
dipahami sebagai entitas yang berbeda. Berdasar penunjukan pada satu realitas
transenden yang tidak terpisah tetapi dapat dilihat dalam dunia, juga memberi
kepercayaan akan pentingnya agama sebagai suatu kajian karena kontribusi yang
akan diberikan pada pengetahuan “ilmiah”.[13]
Dengan uraian dan penjelasan ini, maka apa yang dikatakan oleh sementara
kalangan adanya pendangkalan aqidah adalah tidak berdasar, karena masing-masing
agama mempunyai daya tarik dan kekuatan aqidahnya sendiri-sendiri. Dengan model
dan pendekatan seperti ini, umat beragama diberi masukan yang cukup berharga
bagaimana menghadapi kolega umat beragama lain, dan begitu pula sebaliknya,
yang sama-sama mempunyai keyakinan yang kuat akan kebenaran agama mereka
sendiri-sendiri tetapi tetap memberi ruang untuk dialog bahkan hak hidup
bersama dalam kehidupan yang harmonis (al-ta‘ayus} al-silmi>).
Seorang peneliti agama juga harus epoche[14] (mengurung
unsur-unsur subyektifitas, baik berupa kepentingan pribadi, kelompok, keturunan
dan lainnya). Langkah ini dapat dilakukan apabila peneliti telah menyiapkan
kerangka teori dengan matang. Tanpa itu, sulit dan bahkan mustahil akan
terhindar dari jebakan subyektifitas.
Sikap epoche dalam penelitian agama mengandaikan adanya
sikap kritis (naqd) yang terarah terhadap bangunan keilmuan yang
dianggap telah mapan. Dalam kerangka sikap kritis yang terarah ini, kiranya apa
yang ditawarkan Abid al-Jabiri tentang pendekatan epistimologi[15]: baya>ni>.[16]
‘irfa>ni>[17]
dan burha>ni[18]> dalam
pengembangan pemikiran Islam kontemporer menemukan urgensinya Karena epistimologi
keilmuan yang berkembang di Barat seperti Rasionalisme, Empirisme dan Pragmatisme
saja, tidak akan memadahi untuk dijadikan kerangka teori dan analisis
pasang-surut dan perkembangan Islamic Studies.[19]
Berbeda dengan Abid al-Jabiri, yang melihat Arab-Islam dengan tiga
pendekatan epistimologi di atas, Charles J. Adams mengklasifikasikan Studi
Islam dalam dua katagori:[20]
Pertama, pendekatan normatif atau keagamaan (Normative or Religious
Approach). Pendekatan model ini oleh Charles J. Adam diklasifikasikan lagi
menjadi tiga pendekatan: missionaries tradisional, apologetic muslim
dan pendekatan irenic.[21]
Kedua, pendekatan Deskriptif terbagi ke dalam tiga pendekatan pula, yaitu
pendekatan filologi dan sejarah; pendekatan ilmu sosial; dan pendekatan
fenomenologi. Metodologi yang ditawarkan C.J. Adams tersebut di atas sangat berarti
dalam penelitian agama baik dalam konteks sosio–historis maupun
normatif-teologis.
Hermeneutika sebagai Solusi dari Jeratan Dogma dan Ortodoksi
Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, ada dua cara dalam memahami
al-Qur’a>n, yaitu tafsi>r dan ta’wi>l. Tafsi>r dipahami
sebagai cara untuk mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang
terkandung dalam teks atau nas}s}kitab suci. Dengan demikian, teks
berposisi sebagai “Subyek”. Sedangkan ta’wi>l adalah cara
untuk memahami teks dengan menjadikan teks dan/ atau lebih tepat disebut
pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks sebagai “obyek” kajian.[22]
Hanya saja istilah ta’wi>l dalam tradisi ‘ulu>m
al-Qur’a>n klasik itu, tidak lain dan tidak bukan adalah al-ta’wi>l
al-ba>ti>ni> yang agaknya equivalent dengan al-tafsi>r
al-isha>ri>.[23]
Berbeda dengan ta’wi>l “konvensional” di atas,
kehadiran al-ta’wi>l al-‘ilmi> dalam rangka menelisik
pemahaman orang-perorang, kelompok, mazhab, aliran, organisasi, kultur adalah suatu
hal yang niscaya. Al-ta’wi>l al-‘ilmi> tidak hanya
menjadikan teks sebagai obyek kajian, tetapi dilengkapi dengan pendekatan
hermeneutis[24]
(al-qira>’ah al-muntijah) terhadap khazanah intelektual
Islam baik klasik, modern maupun kontemporer.[25]
Abdullah Saed dan Khaled M.Aboe El Fadl adalah dua tokoh yang getol menyuarakan
pentingnya hermeneutika dalam memahami teks keagamaan. Berdasarkan pelacakan
Abdullah Saed, pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’a>n dapat dikelompokkan
menjadi tiga: tekstualis, semi tekstuali dan kontekstualis.[26]
Pendekatan model pertama dan kedua ini memperlakukan tekstual al-Qur’a>n
sebagai acuan dalam memahami pesan yang terkandung di dalam teks, tanpa
mempertimbangkan konteks sejarah sosial di mana teks tersebut “diungkapkan”.
Akibatnya, sering kali terjadi kesenjangan antara tuntutan literal teks
dengan dunia empirik, di mana pesan teks itu harus diterapkan. Keadaan ini akan
lebih tragis lagi ketika kepentingan ideologis dan politik ikut andil dalam
proses penafsiran. Hal yang demikian ini, menurut Khaled M. Aboe Fadl,
menjadikan fiqih yang semestinya bersifat “otoritatif” menjadi fiqih “otoriter
atas nama Tuhan[27]”
Lahirnya kelompok muslim puritan fundamentalis, menurut Khaled M. Abou El Fadl,
juga dipicu oleh pemaknaan teks keagamaan bercorak literalis- tekstualis.[28]
Sebaliknya, penafsiran yang “rela” membuka diri untuk melakukan kontekstualisasi
terhadap teks akan menghadirkan Islam rah}mah li al ‘a>lami>n dan s}a>lih
li kull zama>n wa maka>n dalam segala aspek kehidupan.
Sehingga kesan bahwa Islam sarat dengan ajaran bias gender,[29] tidak
relevan dengan kemaslahatan[30] era
kontemporer akan dapat dijawab dengan kepala dingin dan rasional.
Dalam lingkup yang lebih luas, Muhammad Arkoun, berangkat dari
kegelisahannya terhadap keberagamaan umat Islam yang cenderung ortodoks,[31] dogmatis[32]
dan juga terhadap kajian-kajian keislaman yng bersifat logosentris, dia mengajukan
gagasan tentang pentingnya memikirkan kembali Islam (Rethinking Islam)
yang ada atau berkembang selama ini dan juga pentingnya melakukan kritik
terhadap nalar Islam yang telah mengendap di bawah akal sadar umat Islam.
Menurut Arkoun, setiap akal mempunyai sejarahnya sendiri yang pasti berbeda
dengan akal-akal yang lain.
Kegelisahn Arkoun juga merambah pada persoalan kajian–kajian al-Qur’a>n.
Dalam hal ini, dia banyak melakukan kajian terhadap kitab-kitab tafsir klasik
dan juga terhadap para pengkaji al-Qur’a>n dari kalangan islamis-orientalis.
Dari kajiannya itu, Arkoun melihat bahwa karya-karya tafsir ulama klasik
kebanyakan bersifat mitologis, a historis, dan ideologis; dalam
arti banyak ulama klasik yang mengkaji dan menafsirkan al-Qur’a>n sesuai
dengan ideologi atau kepentingan politik kelompok tertentu. Padahal tafsir
semacam ini, menurut Arkoun, hanya akan menguntungkan para pemimpin atau kelompok-kelompok
tertentu saja. Hal ini tentu saja sudah melenceng dari tujuan awal
diturunkannya al-Qur’a>n[33]
Berangkat dari kesadaran Arkoun akan ruwetnya “nalar Islam,” maka dia
menawarkan metode historisisme dalam bentuk “kritik nalar Islam” (ta>ri>khi>yya>t
al-‘aql al-isla>mi>). Teks-teks klasik didekonstruksi menuju
rekonstruksi.[34]
Arkoun melakukan rekonstruksi atau membangun kembali wacana pemikiran agar bisa
diperoleh kesadaran atas berbagai penyelewengan, keterbatasan dan pembekuan
wacana. Upaya dekonstruksi-rekonstruksi ini bertujuan antara lain untuk
menghindari adanya sikap superioritas atau klaim serba paling “pusat”, “asli”
dan paling “benar” dalam suatu diskursus. Selain itu, upaya ini juga bertujuan untuk
menghindari segala sesuatu yang bersifat mitis, ideologis, dan mitologis
sehingga suatu diskursus bisa dipulihkan dan ditempatkan kembali secara benar.
Kompleksitas permasalahan Islam kontemporer meniscayakan adanya pembacaan kritis,
tidak hanya berkutat dalam ranah “nalar Islam” -seperti yang ditawarkan
Arkoun-, tetapi juga harus dilihat dari aspek-aspek lain yang lebih “membumi”
dengan kebutuhan umat manusia modern. Dalam kerangka ini, gagasan Jasser Auda
tentang maqa>s}id al-shari>‘ah dengan pendekatan sistem (a
systems approach) dapat dijadikan pisau analisis dalam mengkaji permasalahan
Islam.[35]
Menurut Jasser Auda, terdapat enam ciri sistem yang, antara satu dengan yang
lain saling berkaitan dalam menganalisis hukum Islam kontemporer.[36]
Enam ciri sistem tersebut adalah:[37]
pemikiran dasar sistem hukum Islam (cognitive nature of the system of
Islamic law); Sistem hukum Islam yang menyeluruh (wholeness of the
system of Islamic law); Keterbukaan sistem hukum Islam (openess of the
system of Islamic law); Hirarki sistem hukum Islam (interrelated
hierarchy of the system of Islamic law); Multi-dimensi sistem hukum Islam (multy-dimensionality
of system of Islamic law); Oientasi tujuan sistem hukum Islam (purposefulness
of the system of Islamic law).
Pendekatan di atas dapat dilengkapi dengan tawaran metodologis Muhammad
Shahrur dan secara meyakinkan dapat diterapkan dalam memahami teks-teks agama
mengenai berbagai persoalan kontemporer, seperti persoalan pakaian.
Pembacaan Kritis terhadap Teks
Dalam perspektif Islam, pakaian (liba>s) menempati posisi yang
sangat signifikan terhadap pembentukaan pribadi muslim yang taqwa. Urgensi
pakaian nampak, ketika Islam memerintahkan setiap individu baik laki-laki
maupun perempuan agar menutupi aurat pada pelaksanaan ibadah, seperti s}alat,
dan dalam pergaulan sehari-hari.[38] Di
samping sebagai penutup aurat, pakaian juga menjadi simbol karakter atau watak
yang memakainya,[39] bahkan
oleh sebagian kalangan pakaian yang disinyalir sebagai pakaian islami,
seperti h}ija>b dan jilbab, diyakini sebagai
simbol keislaman yang menonjol. Lebih dari itu, h}ijab juga
menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan Barat yang oleh kalangan
konservatif dianggap bertentangan denga ajaran Islam.[40]
Bagi Muhammad Shahrur,[41]
salah seorang pemikir muslim kontemporer dari Syiria ini, h}ija>b adalah
pakaian untuk membedakan antara perempuan merdeka (al-h}urrah) dan
budak (al-’amah). Karenanya, tegas Shahrur, h}ija>b bukanlah
perintah Tuhan (takli>f shar‘i>) yang bisa dihukumi
halal-haram, tetapi ia tidak lebih dari sebuah tradisi pakaian sebelum
islam (qabl bi’that al-nabi>) yang secara kebetulan
berlaku pada masa Nabi Muhammad. Karenanya, lanjut Shahrur, pakaian hendaknya
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakar dan lingkungan.[42]
Tokoh yang kelahiran Damaskus Syiria ini, memberikan pemikiran yang sangat
kontroversial terhadap teks ayat-ayat liba>s (pakaian: h}ija>b,
jilbab dan khima>r), seperti penafsirannya berkaitan dengan
surah al-Nur ayat 31:
‘‘Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Shahrur
mengaskan, bahwa kata khumur dalam ayat di atas adalah berasal
dari kata al-khamr yang berarti penutup, sama saja penutup
kepala, atau yang selainnya. Sedangkan kata juyu>b, yang berarti
sesuatu yang terbuka mempunyai dua tingkat, tidak sekedar satu. Lebih jauh,
tokoh yang meraih gelar Doktor teknik sipil Universitas Irlandia ini
menjelaskan, bahwa juyu>b bagi kaum perempuan adalah anggota
tubuh antara dua belah dada (ma> bayn al-thadyayn), bagian di
bawah payudara (ma> tah}t al-thadyayn), bagian di bawah
ketiak (ma> tah}t al-ibtayn), kemaluan (al-fajr), dan
kedua bidang pantat (al-alyatayn).[43]
Perlu juga ditegaskan, bahwa Shahrur menggolongkan ayat 31 dari surah
al-Nur di atas sebagai ayat h}udu>d, sehingga ia menafsirkannya
dengan pendekatan teori limit (naz}ariyat al-h}udu>d) yang ia
bangun. Batas minimal (al-h}add al-adna>) bagian tubuh
perempuan yang harus ditutupi adalah bagian-bagian yang termasuk kategori juyu>b dan
batas maksimal (al- h}add al-‘la>) dan
bagian-bagian ma> z}ahar minha> (wajah, dua telapak
tangan).[44]
Bias dari teori limit Shahrur di atas, bahwa perempuan yang menutup seluruh
tubuhnya telah melanggar batas-batas (h}udu>d) Allah,
sebagaimana pelanggaran yang dilakukan oleh perempuan dengan memperlihatkan
tubuhnya yang termasuk kategori juyu>b. Menurut Shahrur, perempuan
bebas berpakaian dengan mode apa saja selama tidak melanggar dua batas di atas,
yakni batas ninimal dan batas maksimal.[45]
Dalam mengkaji pakaian perempuan, Shahrur berpijak pada tiga landasan,
yaitu: aspek metodologis, historis dan normatif. Berikut penulis kemukakan tiga
landasan tersebut secara global.
1. Landasan Metodologis
Muhammad Shahrur, dalam bukunya, Nah}w Us}u>l Jadi>dah li
al-Fiqh al-Isla>mi>: Fiqh al Mar’ah, meletakkan acuan metodologi
yang dijadikan pijakan dalam memahami masalah pakaian (al-liba>s)[46]
perempuan yang dapat disimpulkan sebagai berikut.[47]
Pertama, landasan kebahasaan (asa>s lughawi>). Shahrur
menolak terhadap sinonimitas dalam kosa kata. Kata al-thawb (baju),
dalam pengertian Shahrur tidak sama dengan kata al-liba>s (pakaian),
kata al-saw’ah (kemaluan) tidak sama dengan kata al-‘awrah. Landasan
linguistik ini menjadi pegangan Shahrur dalam membaca ayat-ayat al-Tanzi>l
al-H{aki>m.[48]
Kedua, penyaringan arti kata secara tepat dan argumentatif (al-intiqa>‘i>). Menurut
Shahrur, terdapat sejumlah kata yang masing-masing mempunyai ragam makna, agar
teks ayat al-Tanzi>l al-H{aki>m beserta kandungan
hukunnya dapat dipahami, harus diadakan seleksi secara ketat terhadap kosa kata
tersebut.[49]
Ketiga, pembedaan antara halal (al-h}ala>l) dan
yang haram (al-h}ara>m), antara perintah (al-amr) dan
larangan (al-nahy), antara yang baik (al-h}asan) dan
yang buruk (al-qabi}h}). Peng- h}ala>l-an dan peng-h}ara>m-an
adalah dua otoritas yang hanya dimiliki oleh Allah semata.
Otoritas untuk memberikan perintah dan larangan dimiliki oleh Allah serta
para Nabi serta Rasul-Nya, karena dua otoritas tersebut mengandung unsur lokalitas
dan tunduk pada kondisi darurat. Dengan ungkapan lain bahwa kondisi darurat
memperbolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang (al-manhiya>t) bukan
yang sebelumnya diharamkan (al-muharrama>t). Sedangkan otoritas
pembolehan (al-simah) dan pelarangan (al-man‘) dimiliki
oleh Allah, para Nabi, para Rasul, dan pemimpin umat (uli>
al-amr). Dalam hal ini yang termasuk ketegori uli> al-amr,
tegas Shahrur, adalah dewan legislatif, parlemen, dan dewan penasehat (ahl
al-h}ill wa al-‘aqd). Adapun penetapan mana yang baik dan mana yang
buruk (al-h}asan wa al-qabh) terletak di pundak setiap individu, baik
secara perseorangan maupun kolektif dan yang diakui oleh hati nurani setiap
manusia. Pemilihan hal-hal tersebut di atas merupakan dasar-dasar metodologi
yang tidak pernah dikesampingkan oleh Shahrur ketika membca ayat-ayat al-Tanzi>l
al-H{aki>m, khususnya yang terkait denga ayat-ayat hukum. Berdasarkan
pijakan ini, Shahrur menolak pendapat yang mangatakan bahwa para Rasul memiliki
otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, kerena hal tersebut akan
menghantarkan pada timbulnya kontradiksi dan pencampuradukkan pembaca ketika
mengabaikan bahwa Rasul dan Nabi hanya menghlalkan dan mengharamkan sesuatu
sebatas apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka. Setiap Rasul ketika
berijtihad, maka ijtihadnya berada dalam konteks kenabian (al-nubuwwah),
bukan dalam konteks kerisalahan (al-risa>lah). Ijtihadnya bersifat
lokal-temporal, memuat unsur perintah dan larangan, dan bukan penghalalan atau
pengharaman. Para Rasul juga tidak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu yang
terpisah sama sekali dari prinsip- prinsip Kita>b Alla>h.[50]
Keempat, desakralisasi terhadap
tardisi (tura>th). Setiap yang berasal dari hasil karya cipta
manusia dapat mengandung kesalahan, sekaligus kebenaran, kealpaan dan kelengahan,
dan oleh karenanya dapat diperdebatkan serta dikaji ulang.[51]
Kelima, desakralisasi terhadap
para pemegang otoritas tradisi. Sakralitas, menurut Shahrur, hanya berhak
disandang oleh Allah dan Kitab-Nya, sedangkan imunitas dari kesalahan (‘ismah) hanya
dimiliki oleh Allah dan Rasul-Nya dalam lingkup-lingkup kerisalahan saja. Untuk
alasan dan kepentingan apapun tidak diperbolehkan untuk menyandarkan imunitas
tersebut kepada selain Allah dan Rasul-Nya, karena secara logika hal itu tidak
dapat diterama.[52]
2. Landasan Historis.
Menurut Shahrur, masalah pakaian dan baju penutup bagi perempuan, adalah masalah
klasik yang dapat dikembalikan kepada sejarah, bahkan pada masa pra-sejarah. Para
pengkaji masalah ini senantiasa terikat dengan manuskrip-manuskrip klasik yang tidak
dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan lain yang terkait, seperti
masalah dosa pertama (al-khati>’ah al-u>la>) yang
selanjutnya terkait dengan masalah permulaan munculnya manusia, yaitu permulaan
jenis manusia yang memiliki asal-usul fisik sebagai al-bashar sejak
ruh ditiupkan dalam dirinya. Al-Tanzi>l al-H{aki>m sendiri
mengindikasikan adanya hubungan tersebut dengan mengungkapkan bahwa usaha Adam
dan pasangannya untuk menutupi bagian-bagian intim tubuhnya di surga merupakan
hasil konstruksi alami ketika keduanya terbuka kemaluannya setelah memakan buah
dari pohon terlarang. Hal ini, menurut Shahrur, sesuai dengan pendapat yang
tedapat dalam tafsir-tafsir klasik.[53]
Menurut Shahrur, perempuan dalam masyarakat Arab sebelum diutusnya Muhammad
dapat dikelompokkan ke dalam penganut agama Yahudi, Nasrani, dan penyembah
berhala. Mereka juga tidak terlepas dari pengaruh minoritas penganut Ibrahim dan
orang-orang Persia, khususnya terkait dengan hukum perdagangan.[54]
Secara geografis masyarakat pra-kenabian ini tersebar di daerah Hijaz dan
seluruh bagian jazirah Arab. Sepanjang wilayah selatan mencakup daerah Yaman,
wilayah daerah utara mencakup negeri Syam dan sebagian daerah Iraq. Mayoritas
penduduknya hidup di daerah padang pasir dan wilayah tak bertuan yang diikat oleh
silsilah keluarga dan suku. Sebagian kecil hidup di wilayah perkotaan yang berperan
dalam menumbuhkan pasar dan aktifitas perdagangan secara menetap. Secara
alamiah akan terdapat perbedaan secara konstruksi posisi perempuan dalam kedua
wilayah yang berbeda tersebut. Secara alamiah, kontruksi pandangan tersebut
turut membentuk pokok-pokok ajaran agama yang hidup saat itu. Yang jelas, para
pengkaji masalah ini akan mendapatkan kenyataan bahwa perempuan Arab merdeka
dalam masyarakat pra-kenabian memperoleh posisi yang tinggi dan terhormat
sebagaimana kenyataan dalam adat, tradisi, kebisaaan, serta dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti pernikahan, penceraian, waris, h}ija>b,
pergaulan dengan lawan jenis, pembacaan puisi, dunia politik, hukum dan
pertanian.[55]
Berdasarkan fakta historisis, Shahrur menegaskan bahwa persoalan h}ija>b dan jilbab
adalah sarat dengan pengaruh tradisi bangsa-bangsa Mesopotamia, seperti
Sumeria, Babilonia dan Assyiria. Di samping itu, ajaran agama-agama sebelum
Islam, seperti Zoroaster, Manawiyyah, Yahudi dan Nasrani punya andil besar
terhadap pola pikir beberapa kalangan yang diklaim sebagai “juru tafsir” al-Tanzi>l
al-H{aki>m dalam sakralisasi h}ija>b dan jilbab dengan
jargon “pakaian shari>‘at,” dan –ironisnya diikuti oleh para pemikir islam
berikutnya tanpa selektif.[56]
3. Landasan Normatif
Secara normatif, Muhammad Shahrur mendasarkan konsep pakaian “Islami” yang ia
tawarkan pada dua ayat H{udu>d yang terdapat dalam Surah
al-Nur ayat 30, tekait dengan laki-laki, dan ayat 31 terkait dengan perempuan. Pada
dasarnya, pemikiran Shahrur tentang pakaian berpijak pada dua ayat di atas yang
kemudian yang didukung oleh ayat-ayat lainnya yang dianggap ada relevansi
dengan tema pakaian.[57] Dalam
mengkaji tama-tema keislaman termasuk pakaian perempuan, Shahrur hanya
bergantung pada al-Qur’a>n, bukan Sunnah Nabi dan buku-buku lainnya. Sikap penolakan
Shahrur terhadap sunnah, bukan berarti tidak menghargai Nabi, Shahrur menghargai
Nabi dalam tingkah laku manusianya, sebagai seorang muslim pertama yang memilih
pilihannya didalam batasan-batasan Tuhan.[58]
Penutup
Metodologi Studi Islam, sebagaimana disiplin ilmu pengetahuan lainnya, akan
terus berkembang seiring dengan kebutuhan tantangan zaman yang bergulir begitu
cepat. Bisa jadi, dalam hitungan beberapa tahun saja, bahkan mungkin bulan, Motodologi
Studi Islam yang diusung oleh para pemikir, seperti dalam tulisan ini, sudah
dianggap ketinggalan zaman.
Dan karenanya memerlukan inovasi-inovasi terbaru. Tentu sangat ironis,
kalau Metodologi versi “lama” saja belum dipahami, apalagi mengaplikasikannya
dalam sebuah penelitian, ternyata telah ditemukan Metodologi versi paling
kontemporer. Al-Hasil, siapapun yang tertarik dengan kajian ke-Islam-an,
dituntut selalu meng- update keilmuannya, serta berani menggunakan metode-metode
kontemporer dalam menganalisis suatu permasalahan, sehingga menghasilkan
sesuatu yang betul-betul baru (qira>’ah muntijah) dalam dunia ilmu
pengetahuan, serta mas}lah}ah bagi planet bumi dan seisinya.
Daftar Rujukan
Abdullah, Amin. “Mendengarkan “Kebenaran” Hermeneutika,” dalam Fahruddin
Faiz, Hermeneutika Al-Qur`an. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
—————. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Aboe Fadl, Khaled M. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif. Tp: Serambi, 2004.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Dawa>’ir al-Khawf: Qira>’ah fi>
Khita>b al-Mar’ah. Beirut: al-Markaz al- Thaqafi> al-‘Arabi>,
2000.
Adams, Charles J. “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard Binder
(ed.). The Study Midle East: Research and Scholarship in
Humanities and The Social Scince. Canada: John Wiley Sons, Inc, 1976.
Agustin, Nurul SS, MA. “Gender”Ensiklopedi Islam Tematis, Vol 6.
Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve, t.t.
Al-Jabiriy, Mohammad Abid. Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi>. Beirut:
al-Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabi>, 1991.
—————. Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi>: Dira>sah
Tah}li>li>yah Naqdi>yah li Nuz}um al- Ma‘rifah fi> al- Thaqa>fah
al-‘Arabi>yah. Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih}dah
al-‘Arabi>yah, 1990.
al-Jaziri, Abd al-Rahman. al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib
al-Arba‘ah, vol 2. Istambul: Waqf al-Ikhla>s}, 1990.
al-Shatibi, Abu Ishaq. al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l
al-Shari>‘ah, vol 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1971.
Arabi, Ibn al. Ah}ka>m al-Qur’a>n, vol 3. Beirut:
Da>r al-Fikr, t.t.
Arkoun, Muhammad. Al-Fikr al-Us}u>li> wa Is}t}iha>la>t
al-Ta’s}i>l, terj. Hashim Salih. Beirut: Da>r al-Sa>qi>, 1999.
—————. Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin & Lathiful
Khuluq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Assyaukani, Luthfi. “Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderen: Pendekatan
Menuju
Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, no. 1, Vol. V
1994.
Auda, Jasser. Maqa>s}id al-Shari>‘ah As Philosophy of Islamic
Systems Approach. London-Washington: The International Institute of
Islamic Thought, 2008.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta:
Gramedia, 1983.
Erricker, Clive. “Pendekatan Fenomenologis,” dalam Peter Conolly
(ed). Aneka Pendekatan
Studi Agama, terj. Imam Khoiri.
Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2009.
Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan
sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Hardiman, F. Budi. “Positivisme dan Hermeneutik: Suatu Usaha untuk
“Subjek”, dalam Basis, XL-3 (Maret 1991).
Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
Jarir, Ibn al. Tafsi>r al-T{aba>ri>, vol 9.
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992.
Jassas, al. Ah}ka>m al-Qur’a>n, vol 3. Beirut:
Da>r al-Fikr, t.t.
K. Munitz, Milton. Contemporary Analytic Philosophy. London:
Collier Macmillan Publishers, 1981.
L. Cox, A, A. James. Guide to the Phenomenology of Relegion: Key
Figures, Formative Influnces and Subsequent Debates. New York: The
Open University, 2006.
Mas’ud, Abdurahman. “Sunnisme and ‘Orthodox’ in Eyes of Modern
Scholars.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, no. 61
(1998). Sheila Mc Donough, “Orthodoxy and Hetero- doxy, dalam, Encyclopedia
of Religion, vol. 11, 108, 124.
Maulidin. “Sketsa Hermeneutika” dalam Gerbang, Jurnal Studi Agama
dan Demokrasi, no.14 Vol.V. Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi,
2003.
Nugroho, Heru. Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
Rumadi. “Kritik Wcana Agama sebagai Gerakan Pemikiran Islam Kontemporer,”
dalam ed.
Adnan Mahmud, et.al. Pemikiran Islam Kontemporer di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Saed, Abdullah. Interpreting al-Qur‘an: Towards a Contemporary
Approach. New York: Routledge, 2006.
Sahiron, Abdul Mustaqim. Syamsudin. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
2002.
Sahrodi, Jamali. Metodologi Studi Islam, Menelusuri Jejak Hisoris
Kajian Islam ala Sarjana Orientalis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Schwartz, Stepen Sulaiman. Dua Wajah Islam, Moderatisme vs.
Fundamentalisme dalam Wacana Global. Jakarta: The Wahid Institute,
2007.
Sharur, Muhammad. al-Isla>m wa al-I<ma>n:
Manz}u>ma>t al-Qiya<m. Damaskus: al- Ahali, 1994.
—————.al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu‘as}irah.
Damaskus: al-Ahali, 1990.
—————. Nahwa> Us}u>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>.
Damaskus: al-Ahali, 2000.
—————.Dira>sa>t Isla>mi>yah Mu‘a>s}irah fi> al-Dawlah
wa al-Mujtama‘. Damaskus : al-Ahali, 1996.
Syuqqah, Abdul Halim Kebebasan Wanita, Vol 4, ter As’ad
Yasin. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Tabarisi, al. Majma‘ al-Baya>n, vol. Beirut : Da>r
al-Fikr, t.t.
van Ess, Josef “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Issa J.
Boullata (ed.), An Anthology of Islamic Studies, Montreal,
McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992.
[1] Metodologi berbeda dengan metode. Metode merupakan
langkah-langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu dan
bersifat aplikatif. Sedangkan metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang
sudah diterima (well received) tapi berupa kajian tentang metode. Dalam
metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Periksa
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan
Sebagai Cara Pandang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), ix.
[2] Ibid.,vii.
[3] Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), viii.
[4] Tema-tema Seminar Kelas Mata Kuliah Metode
Studi Islam, Program Doktor IAIN Sunn Ampel Surabaya, Semester Gasal T.A
2009/2010, Kelas Khusus. Dosen Pengampu: Prof. DR. M. Amin Abdullah.
[5] Milton K. Munitz, Contemporary
Analytic Philosophy (London: Collier Macmillan Publishers, 1981). Dari
Nalar Literalis-Normatif Menuju Nalar Kontekstualis-Historis dalam Studi Islam
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Dua model pendekatan terhadap Islam (insider dan outsider)
tersebut berangkat dari asumsi dan titik tolak yang berbeda. Kalanganinsidermemandang
Islam berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah agama wahyu, kebenarannya
bersifat mutlak, universal dan adaptif dengan tantangan zaman (s}a>lih}
li kull zama>n wa maka>n). Buahnya adalah, kesimpulan-kesimpulan
penelitiaanya dikemas sedemikian rupa agar tidak bertentangan denga nilai dasar
Islam, yang bisa jadi bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
Sementara outsider mendekati Islam sebagai fenomena yang
menyejarah, yakni agama yang dipahami dan dipraktikkan oleh manusia sebagai
makhluq sejarah.
[9] Rumadi, “Kritik Wacana Agama sebagai
Gerakan Pemikiran Islam Kontemporer” dalam ed. Adnan Mahmud, et.al., Pemikiran
Islam Kontemporer di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 6.
[10] Heru Nugroho, Menumbuhkan Ide-ide
Kritis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 8.
[11] F. Budi Hardiman, “Positivisme dan
Hermeneutik: Suatu Usaha untuk “Subjek”, dalam Basis, XL-3 (Maret
1991), 92; F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan
Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas(Yogyakarta: Buku Baik, 2004), 183; K.
Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jkarta:
Gramedia, 1983), 90.
[12] A.James L. Cox, A Guide to the
Phenomenology of Relegion: Key Figures, Formative Influnces and Subsequent
Debates (New york: The Open University, 2006), 209-247.
[13] Clive Erricker “Pendekatan Fenomenologis”
dalam Peter Conolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam
Khoiri (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2009), 110.
[14] Epoche adalah metode meletakkan subyektif
peneliti ke dalam kurung untuk menunjukkan karakter ide dan perasaan orang
beriman. Periksa, Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, Menelusuri
Jejak Hisoris Kajian Islam ala sarjana Orientalis (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), 146.
[15] Pemikiran Abid al-Jabiri tentang tiga
epistemilogi tersebut dapat dibaca pada Mohammad Abid al Ja>biri>, Takwi>n
al-‘Aql al-‘Arabi> (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi>
al-‘Arabi>, 1991. Juga buku berikutnya, Bunyat al-‘Aql
al-‘Arabi>: Dira>sah Tah}li>li>yah Naqdi>yah li Nuz}um
al-Ma‘rifah fi> al-Thaqa>fah al-‘Arabi>yah (Beirut: Markaz
Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Dari Nalar Literalis-Normatif Menuju
Nalar Kontekstualis-Historis dalam Studi Islam 1990, cetakan ke 3. Khusus untuk
struktur dasar dan pola pikir Mutakallimun (pemikiran Kalami>yah) dapat
ditelaah lebih lanjut Josef van Ess, “The Logical Structure of Islamic
Theology”, dalam Issa J. Boullata (Ed.), An Anthology of Islamic
Studies, Montreal, McGill (Indonesia IAIN Development Project, 1992).
[16] Epistemologi Baya>ni> didefinisikan
sebagai metode penalaran yang mengacu pada otoritas teks baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui inferensi (istidla>l).Periksa,
al-Ja>biri>, Takwi>n, 19.
[17] Dalam menerjemahkan kata ‘irfa>n,
kita berhadapan dengan dua padanan yang serupa tapi tak sama. Yang pertama
adalah “Gnose/gnosis” yang berarti “pengetahuan intuitif tentang hakikat
spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar”. Sedangkan yang kedua adalah
“Gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan
kepada “Gnostiksisme”; sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke 2 M.
Kelihatannya pengertian yang kedualah yang dikehendaki oleh al-Ja>biri>.
Ibid
[18] Sebagai akitifitas kognitif, demonstrasi
adalah inferensi rasional yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan
konklusi yang bernilai. Sebagai lapangan kognitif, demonstrasi ini adalah dunia
pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan transliterasi
buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Karena
penerjemahan buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik untuk mendukung Akal
Retoris melawan serbuan tren Akal Gnostis, maka tidak heran kalau dalam
praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Dan terjadilah
hubungan yang sangat erat antara keduanva dalam dataran metodologi (tata bahasa
Arab/logika) dan juga dalam dataran pemikiran (teologi/filsafat).
[19] Amin Abdullah, Islamic Studies,
201.
[20] Periksa Charles J. Adams, “Islamic
Religious Tradition”, dalam Leonard Binder (Ed.) The Study Midle East:
Research and Scholarship in Humanities and The Social Science (Canada:
John Wiley Sons, Inc, 1976), 20
[23] Ibid., 185.
[24] Kata Hermeneutik berasal dari bahasa
Yunani hermeneueinyang berarti “menafsirkan”. Konon, istilah
hermeneutika ini punya kaitan khusus dengan sosok yang bernama Hermes (dan yang
menduga dia adalah sosok Nabi Idris, Jibril), utusan dari komunitas Dewa
Olimpus yang bisa berjalan secepat kilat (itu baru cara berjalannya, tidak bisa
dibayangkan kalau ia sedang lari). Sebagai perantara, tentu saja Hermes harus
bisa menguasai bahasa para dewa, memahami dan menafsirkan apa yang ada di benak
para zat yang kekal itu, sekaligus mampu menerjemahkan serta mengartikulasikan
maksud mereka pada makhluq hidup yang ada di dunia fana. Dalam pengertiannya
yang paling sederhana, hermeneutika bisa didefinisikan sebagai “sebuah teori,
metodologi dan praksis penafsiran, yang digerakkan ke arah penangkapan makna
dari sebuah teks, atau sebuah analogi-teks, yang secara temporal atau secara
kultural berjarak jauh, atau dikaburkan oleh ideologi dan kesadaran palsu”
Periksa Maulidin, “Sketsa Hermeneutika” dalam Gerbang, Jurnal Studi
Agama dan Demokrasi No.14 Vol.V (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan
Demokrasi, 2003), 6. Dalam perspektif hermeneutik, paling tidak ada tiga unsur
variabel yang harus terpenuhi, yaitu unsur author (pengarang),
unsur teks dan unsur reader (pembaca). Dalam Islam, variabel
teks adalah nas}s} shar‘i>, variabel author adalah
Allah dan variabel reader adalah umat Islam sendiri. Ketiga
unsur variabel tersebut harus diletakkan secara berimbang, karena pengabaian
peran salah satu unsur lainnya akan mengantarkan kepada interpretative
despotism (kesewenang-wenangan penafsiran) yang pada akhirnya akan
melahirkan authoritarianism, yakni tindakan menutup rapat-rapat atau membatasi
keinginan Tuhan (the will of the Divine) atau keinginan terdalam teks
dalam suatu batasan ketentuan tertentu, dan menyajikan ketentuan-ketentuan
tersebut sebagai sesuatu hal yang final dan tidak dapat diganggu gugat. Periksa
Amin Abdullah, “Mendengarkan “Kebenaran” Hermeneutika” dalam Fahruddin
Faiz, Hermeneutika Al-Qur`an (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005),
xviii-xx.
[25] Amin, Islamic Studies, 185.
[26] Abdullah Saed, Interpreting
al-Qur’a>n: Towards a Contemporary Approach (New York: Routledge,
2006).
[27] Khaled M. Aboe Fadl, Atas Nama Tuhan: dari
Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Tp: Serambi, 2004).
[28] Penjelasan mendalam tentang akar munculnya ekstrimisme dalam
Islam silahkan baca juga Stepen Sulaiman Schwartz, “Dua Wajah Islam,
Moderatisme vs. Fundamentalisme,” dalam Wacana Global (Jakarta:
The Wahid institute, 2007).
[29] Untuk mendapatkan ulasan tentang gender,
silahkan baca Nasr Hamid Abu Zaid, Dawa>’ir al-Khawf: Qira>’ah
fi> Khita>b al-Mar’aah (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi>
al-‘Arabi>, 2000).
[30] Seluruh ajaran Islam ditujukan untuk
mewujudkn kemaslahatan yang sebanyak-banyaknya bagi umat dan sekaligus menolak
datangnya mafsadah bagi mereka. Konsep mas}lah}ah ini
oleh ulama telah diformulasikan dalam maqa>s}id al-shari>‘ah dengan
berbagai dimensinya. Periksa Abu Ishaq al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t
fi> Us}u>l al-Shari>‘ah, vol 2 ( Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmi>yah, 1971), 7.
[31] Meskipun kata “ortodoks” tidak dikenal
dalam Islam dan tidak mempunyai padanan yang pas dalam bahasa Arab, secara
konseptual ide tentang ortodoksi tidak sulit ditemui dalam agama ini. Hal
tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa meskipun diungkapkan dalam istilah
yang berbeda-beda, konsep ortodoksi dapat ditemui dalam semua tradisi keagamaan
yang utama, termasuk Islam. Periksa Abdurahman Mas’ud, “Sunnisme and‘Orthodox’
in Eyes of Modern Scholars.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies,
no. 61 (1998), 108. Sheila Mc Donough, “Orthodoxy and Heterodoxy. Dalam, Encyclopedia
of Religion, vol. 11, 124.
[32] Menurut Arkoun, setiap agama memiliki
keyakinan-keyakinan dan non keyakinan-non keyakinan yang telah dilalui sebagai
kebenaran-kebenaran yang tidak tersentuh dan tidak dapat diperdebatkan, yaitu,
ada dogma- dogma yang menghindari setiap pertanyaan kritis oleh kekuatan nalar.
Dalam Islam, kata Arkoun, dogma-dogma ditentukan oleh al-Qur’a>n kemudian
dikembangkan dan didakwahkan oleh otoritas-otoritas “ortodoks” pada setiap
waktu di mana dipandang perlu membantah pendapat-pendapat yang dianggap
heterodoks. Periksa, Muhammed Arkoun, Rethinking Islam, terj.
Yidian W. Asmin & Lathiful Khuluq (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 105.
[33] Muhammad Arkoun, al-Fikr
al-Us}u>li> wa Istih}a>la>t al-Ta’si>l, terj. Hashim Salih
(Beirut: Da>r al-Sa>qi>, 1999), 17.
[34] Luthfi Assyaukani, “Islam dalam Konteks
Pemikiran Pasca-Moderen: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal
Ulumul Qur`an, no. 1, Vol. V 1994, 25.
[35] Jasser Auda, Maqa>s}id
al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Systems Approach (London-Washington:
The International Institute of Islamic Thought, 2008), 26.
[36] Walaupun gagasan Jasser Auda berbicara
dalam aspek hukum, tetapi teori sistem yang dia tawarkan juga dapat dipakai
sebagai pisau analisis aspek-aspek Islam lainnya.
[38] Periksa Abb al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh
‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah,vol 2 (Istambul:Waqf al-Ikhlas, 1990 ),
191-192.
[39] Abdul Halim Syuqqah, Kebebasan
Wanita, vol 4, terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
27.
[40] Periksa Nurul Agustin, SS, MA “Gender”Ensiklopedi
Islam Tematis, vol 6 (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve, t.t), 182.
[41] Muhammad Shahrur dilahirkan di Damaskus,
Suriyah pada tanggal 11 April 1938, putra dari perkawinan antara Deyb Shahrur
dengan Siddiqah bin S}a>lih Filyun. Shahrur dikarunia lima orang anak: T{ariq,
al-Laith, Basul, Masun dan Rima sebagai buah pernikahannya dengan Azizah.
Secara akademis dia meraih gelar Doktor di bidang Mekanika Pertanahan dan
Fondasi (mika>nika> turbat wa asasat) di Universits Irlandia.
Kesibukannya sehari-hari adalah sebagai dosen Fakultas Teknik Sipil mengampu
mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi. Hebatnya, dia produktif menulis
tema-tema kajian keislaman dan menghasilkan karya monumental. Buku-buku yang
telah dia terbitkan buah pikirannya antara lain: al-Kita>b wa al-Qur’a>n
: Qira>’ah Mua>‘as}irah (Damaskus: al-Ahali, 1990), Nahwa>
Us}u>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>( Damaskus: al-Ahali,
2000), al-Isla>m wa al-I<ma>n: Manz}u>mat al-Qiya>m(
Damaskus: al- Ahali, 1994), Dira>sa>t Isla>mi>yah
Mu‘a>s}irah fi> al-Dawlah wa al-Mujtama‘ (Damaskus: al-Ahali,
1996).
[42] 42Muhammad Shahrur, Nahw
Us}u>l, 355.
[43] 43Muhammad Shahrur, al-Kita>b, 607.
Penafsiran Shahrur ini sangatlah “nakal” bila kita bandingkan dengan ulama’
pendahulunya, seperti Ibn Jarir, al-Tabasari, al-Jassas, Ibn al-‘Arabi. Periksa
Ibn al-Jarir, Tafs>ir al-T{aba>ri>, vol 9 (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992), 303, al-Tabarisi, Majma‘
al-Baya>n, vol 7 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 215-216,
al-Jas}s}as, Ah}ka>m al-Qur’a>n, vol 3 (Beirut: Da>r
al-Fikr, t.t), 460-461, Ibn al-‘Arabi, Ah}ka>m al-Qur’a>n, vol
3 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t),381-382.
[44] 44Ibid,, 618.
[45] 45Ibid.
[46] Shahrur menggunakan istilah al-liba>s(pakaian)
sebagai ganti istilah H{i>jab yang selama ini sering
disebut pakaian shar‘i>. Berdasarkan penelitiannya, kata al-H{i>ja>bdalam
al-Qur’a>n disebut 8 kali (dengan redaksi H{i>ja>b:
al-A’raf 7 : 46; al-Ahza>b 33 ; S{a>d 38 : 32; Fus}s}ila>t 41 : 5;
al-Shu>ra> 42: 51, dengan redaksi : al-Isra’ 17: 45; Maryam 19 : 17,
dengan redaksi li mahju>b : al-Mut}affifi>n 83: 15)
tetapi setiap ayat tersebut tidak ada yang secara pasti dikaitkan dalam masalah
pakaian. Kosa kata yang lebih merujuk pada pengertian al-liba>s,
menurut Shahrur, adalah al-thiya>b(baju), al-jala>bib (jilbab,
penutup tubuh) dan al-khumur (kerudung). Periksa
Shahrur, Nahwa Us}u>l Jadi>dah, 331.
[47] Ibid., 335.
[48]Ibid. menurut Shahrur, pemolakan sanonimitaslah yang pertama
kali memberikan inspirasi untuk membedakan antar terma al-Kita>b dan
al-Qur’a>n, antara al-Nabi> dan al-Rasul, antar al-Risa>lah dan al-Nubuwwah,
yang kemudian menjadi embrio seluruh konsepnya yang kontroversial, baik di
bidang ‘iba>dah, mu‘a>malah dan lainnya. Periksa
Shahrur, “Nahwa I’a>dat Tarti>b Awlawi>ya>t al-Thaqa>fah
al-‘Arabi>yah al-Isla>mi>yah: Maqa>la>t al-Isla>m wa al-Ima>m”, Artikel
Studi Teks dan Tafsir (Yogyakarta : Hans Bunga, t.t), 2. Berkaitan
dengan penolakan Shahrur terhadap sinonimitas bahasa, dia memilih kamus, Maqa>yis
al-Lughah, karya Ibn Faris. Kamus ini dijadikan rujukan utama untuk
mendefinisikan perbedaan kata-kata yang dibahasnya. Periksa Shahrur, al-Kita>b, 24.
[49]Shahrur memberikan contoh perlunya penyaringan makna taqwa> yang
bersanding dengan kata liba>sdalam ayat 26 surah al-A‘ra>f
dalam tiga kemungkinan, yaitu: iman, amal saleh dan rasa malu. Periksa
Sharur, Nahwa Us}u>l, Ibid.
[51] Ibid.
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[56] Shahrur, Nahwa Us}u>l, 360.
Sikap seperti itu menurut Shahrur, ada kesalahan fatal, karena merubah
unirversalitas Islam menjadi pesan yang sempit, bersifat lokal, dan mengatributkan
aspek kesakralan pada peninggalan tradisional, walaupun hal itu buah dari
“rekayasa” interpretasi manusia, sehingga pesan yang orisinil menjadi tertutup
oleh warisan manusia. Akibatnya kebudayaan Islam menjadi membatu. Periksa
Muhammad Shahrur, Teks Ketuhanan dan Pluralisme pada Masyarakat
Muslim, terj. Mohammad Zaki Husein (Yogyakarta: Hans Bunga, t.t), 44.
[57] Perlu dicatat, penyertaan ayat-ayat lain
yang dimiliki topik pembahasan yang sama, dikenal dengan istilah metode
intratekstualis, teknis dari metodis dari konsep al-Qur’a>n yufassir
ba’d}uh ba’d}(sebagian ayat al-Qur’a>n menafsirkan ayat lain). Ini sudah
muncul sejak awal Islam, namun baru diaplikasikan secara sistematis pada abad
ke-20, yang lebih popular dengan istilah al-tafsi>r al-mawd}u>‘i> (tafsir
tematik). Perangkat metodologis ini memilki justifikasi dari Q.S, al-Muzammil:
4. Pada ayat tersebut terdapat kata tarti>l yang menurutnya
tidak diartikan dengan membaca (tila>wah) sebagaimana yang
dipahami oleh sebagian mufassir. Lafaz} tersebut diambil dari
kata al-ratl yang berarti “barisan pada urutan tertentu.” Atas
dasar ini, tarti>l diartikan dengan “mengambil ayat-ayat
yang dikaitkan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang yang
lain”. Periksa Shahrur, al-Kita>b, 197. Namun secara praktis,
metode mawd}u>‘i> ini antara yang satu dengan yang lain
terkadang terdapat perbedaan baik dalam hal memilih ayat maupun dalam hal
analisis. Periksa Sahiron Syamsuddin, “Metode Intratekstualitas Muhammad
Shahrur dalam Penafsiran al-Qur’a>n,” Studi al-Qur’an Kontemporer,
ed. Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya,
2002), 138.
[58] Shahrur, Teks Ketuhanan, 49.
Komentar
Posting Komentar